Laptop pinjaman dari bu Nana masih tetap menyala. Saat itu dini hari 24 Mei 2010. Screen saver berupa jam digital di ponsel sejuta ummat yang terletak di meja telah menunjukkan lewat 14 menit dari tengah malam dalam zona waktu Hong Kong (HKT). Ini adalah hari terakhir aku di kota yang begemerlap seakan tak pernah mati.
Koneksi internet—broadband berkecepatan tinggi—sebagai fasilitas di apartemen tempat aku menginap, jelas memberikan cukup banyak kemudahan. Beberapa menit berselang sebelumnya, aku masih berhubungan dengan tim di Bandung untuk memastikan bahwa semua pekerjaan yang tersisa benar-benar sudah berjalan sebagaimana diharapkan. Ya, di Bandung nanti memang masih ada sedikit sentuhan akhir yang tetap harus dikerjakan.
Waktu tak berhenti, aku masih menjelajah dunia maya mencari sesuatu yang kiranya berharga—untuk dibawa pulang sebagai buah tangan bagi sang jagoan—dari perjalanan kali ini. Sudah banyak keyword digunakan, sudah pula banyak situs web yang disinggahi. Tidak mudah untuk memutuskan. Ada begitu banyak yang sudah aku lihat selama di negeri panda. Bukan saja soal harga, namun lebih kepada nilai yang bisa digali olehnya, juga aku, nanti.
Hingga tiba pada sebuah situs web penerbitan lokal, dari hasil googling, mataku tertumbuk pada sebuah deskripsi buku yang baru dirilis. Berbalut sampul sebuah foto tua dari abad ke sembilan belas, judulnya: An Illustrated History of Transport in Hong Kong from Sedan Chair to Jumbo Jet. Deskripsi itu berisi sebagai berikut;
Transport: Hong Kong's lifeblood. From its modest origins, when Hong Kong was still the proverbial 'barren rock', the territory's transport system has evolved to become one of the most iconic, efficient and economical in the world.
From Sedan Chair to Jumbo Jet captures this remarkable story, tracing the development of Hong Kong's transport system from the mid-19th century, when the principal means of transport were sailing junks, sampans and horses, through the spectacular development of land and maritime transport, to the huge growth in civil aviation after the Second World War.
This book makes fascinating reading and gives a valuable insight into life in Hong Kong over the past 170 years. Sprinkled with amusing anecdotes and richly illustrated throughout, this book is required reading for the amateur train spotter in all of us as well as those who have a serious interest in the evolution of transport systems in Hong Kong.
Buku yang menarik kiranya dijadikan pelengkap mozaik khazanah pengetahuan, saat di mana ia lagi senang-senangnya bermain dengan segala macam bentuk alat transportasi. Lebih dari itu, ia juga sudah mulai ikut banyak membaca tentu ketika sedang mood, hehehe. Baik, baiklah, percaya, meski hanya dalam sisa beberapa jam lagi sebelum pulang ke tanah air, aku akan berkesempatan menemukan buku ini. Lenovo Thinkpad mungil itu aku matikan, dan aku pun terlelap ditemani dingin dari penyejuk udara kamar.
Hari Pertama, 19 Mei 2010Belum lagi masuk waktu subuh, sepagi itu, aku sudah berangkat. Yudha, mengantarkan aku di sela waktu jaga lewat tengah malam. Kami mampir sebentar ke sebuah mini market untuk membeli perbekalan logistik. Tidak banyak, ala kadarnya: sebungkus marie dan roti sobek, dua bungkus mie instant, dan sebotol air minum. Kemudian langsung menuju ke bandar udara Husein Sastra Negara, Bandung.
Setelah check-in, sambil menunggu waktu subuh dan melakukan verifikasi dokumen perjalanan lainnya, dua dari empat potong roti sobek pun menjadi sarapan. Lengkap dengan air minum yang tak panjang umur karena segera diteguk habis sebelum aku masuk ke ruang tunggu untuk bergegas menunaikan sholat, selagi sepi demi dzikir lebih panjang untuk kelancaran dalam keseluruhan perjalanan. Aamiin.
Di ruang tunggu, tak banyak yang bisa dilakukan, hingga saat boarding, waktu hanya ku isi dengan membaca. Sebuah buku berjudul Lâ Tahzan Innallâha Ma'anâ karya K.H. Choer Affandi, yang sejak seminggu sebelumnya selalu dibawa-bawa dan dibaca kala senggang. Buku setebal 260 halaman tersebut merupakan bingkisan dari penerbit Mizan pada Pesta Buku Bandung 2010 yang digelar Februari lalu, dalam rangka ulang tahun ke-200 Kota Bandung.
Pukul 6:10 WIB. Penerbangan pertama dalam perjalanan saat itu menggunakan maskapai AirAsia QZ-7591, yang akan mengantarkan aku ke Low Cost Carrier Terminal (LCCT) di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA), Malaysia. Alhamdulillah, pesawat tinggal landas di pagi yang cerah ini dengan cukup nyaman. Masih bertemankan buku yang sama. Tapi, karena aku tidak tidur malam, membuat mata tak bisa di ajak kompromi. Mungkin tak lebih dari sepuluh halaman, diselingi mengisi kartu kedatangan sambil sesekali melihat Bandung dari udara, aku pun terlelap.
Terbangun aku ketika kru memberitahukan beberapa menit lagi pesawat akan segera mendarat. Aku tertidur cukup lama ternyata. Saat itu pukul sembilan dalam zona waktu Malaysia, MYT. Aku tak bisa memastikan. Karena sebuah kebiasaan buruk, bahkan dalam perjalanan jauh pun aku tetap tak suka menggunakan jam tangan. Kedua penunjuk waktu yang kubawa sudah menjadi satu pada ponsel. Dan tentu saja dalam keadaan padam sesaat setelah seat belt ku kencangkan, sekira 2 jam lalu.
Hijaunya pemandangan dari udara ketika akan mendarat di KLIA yang penuh dengan pohon sawit mengingatkan aku pada kampung halaman. Bedanya, di atas Malaysia, kebun-kebun sawit itu terlihat begitu rapi membentuk beragam pola, menyatu dengan bangunan-bangunan diantaranya. Sementara di atas provinsi Riau, kehijauan sawit akan bercampur aduk dengan tajuk-tajuk vegetasi lain yang hidup di tanah gambut, diselingi bagian-bagian tandus tanah berpasir merah atau kuning, bahkan hitam kecoklatan pada saat-saat masa pembukaan lahan.
Saat itu pukul 9:37 MYT. Dokumen-dokumen imigrasi sedang diperiksa. Tidak banyak pertanyaan, apalagi basa-basi. Aku hanya diminta menunjukkan bukti pemesanan tiket penerbangan lanjutan, karena KLIA hanya akan menjadi tempat singgah sementara sebelum perjalanan dilanjutkan. Sesaat kemudian passpor pun sudah mendapatkan stempel dari imigrasi Malaysia.
Aku punya waktu 4 jam menjelang pukul penerbangan berikutnya. Sisa-sisa kantuk sekarang bercampur dengan rasa haus. Setelah mengeluarkan RM 2.50 untuk membeli sebotol air minum, aku pun berkeliling kompleks KLIA yang cukup luas. Tentu hanya pada area tertentu saja, sebagaimana umumnya sebuah bandara yang merupakan bangunan publik dengan akses terbatas.
Tiga menit menjelang tengah hari, obrolan kesana-kemari dengan seorang polisi yang sedang merokok tepat di luar "balai polis KLIA", aku akhiri. Sebelum masuk kembali kedalam untuk melakukan check-in, aku sempatkan untuk menikmati sebungkus nasi lemak ala "uncle D" seharga RM 3.90. Komentar soal rasa? cukup lah, masih bisa ditelan.
Ringkasnya, aku sudah berada di ruang tunggu kembali, menanti masuknya waktu dzuhur dan panggilan untuk boarding. Waktu sholat dzuhur saat itu pukul 13:13 MYT. Saat anda berada di Malaysia, acuan waktu sholat dapat dengan mudah diketahui dengan mengakses situs web e-Solat. Dan bagi anda yang berada di LCCT, bila jadwal penerbangan dekat dengan waktu sholat, mendirikan sholat di musholla yang berada di ruang tunggu setelah anda check-in, lebih dianjurkan dari pada di musholla yang terletak diluar. Rekomendasi tersebut dengan alasan kebersihan, kenyamanan, serta ketenangan anda saat beribadah.
Tanpa delay, tepat pukul 13:50 MYT, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan AK-658 yang aku tumpangi bergerak menuju landasan pacu. Negara tujuan: Hong Kong SAR. Telepon seluler—yang juga berarti penunjuk waktu—kembali dimatikan. Sedikit catatan untuk penerbangan ini adalah: aturan bagasi kabin maksimal seberat 7Kg itu diberlakukan ketat. Hal ini membuat aku harus meninggalkan hanya sebuah laptop serta dua buah buku di dalam tas sandang kucel. Sisanya kini berada di tas travel—ini juga pinjaman, dari pak Rizal—yang berada di bagasi. Ya, begini seharusnya sesuatu bernama peraturan, dibuat untuk dilaksanakan. Aku hanya berhak untuk sedikit khawatir atas keamanan perangkat elektronik yang direlokasi tadi. Semoga tetap aman, sebab aku lupa meminta stiker "Fragile". Kesalahanku.
Penerbangan yang ditempuh selama hampir empat jam itu terasa sangat lama. Entah sudah di mana posisi kami saat itu. Entah, sudah berapa lama kami mengangkasa. Sementara buku pengisi waktu luang sudah habis ku baca. Mengulang kembali membaca beberapa bagian dari buku yang kupegang sudah kulakukan sejak tadi. Aku baru mendapatkan kepastian setelah kru menginformasikan bahwa pesawat ini akan mendarat sedikit lebih lama dari jadwal karena alasan cuaca buruk. Jauh di bawah sana, Hong Kong sedang diguyur hujan. Sebelum keluar, aku sempat melihat tiga buah pesawat lain yang segera akan mendarat. Alamak, ada antrian di udara!
Pukul 18:17 HKT. Kini aku sudah keluar dari Airbus A320 yang membawaku ke Hong Kong International Airport (HKIA). Menggunakan Automated People Mover (APM) yang terjadwal tiap 2 menit, aku menuju ke bagian imigrasi. Antrian di sana begitu panjang. Namun jumlah petugas dapat mengimbangi. Tak butuh waktu lama, kini aku sudah bisa menuju tempat pengambilan bagasi. Sepertinya semua di desain dengan baku efisiensi waktu yang tinggi. Hanya saja, tas travel tak kunjung terlihat di atas ban berjalan. Aduh, mungkin ikut mengantri juga karena diluar hujan? halah!
Setelah pemeriksaan bagasi di pabean yang berlanjut dengan menukarkan pecahan uang lokal, aku segera keluar kearah kanan menuju perhentian bus. Diluar kini tersisa gerimis kecil. Tak lama menunggu, setelah membayar HKD 4, bus dengan kode S1 yang terjadwal setiap 10 menit sejak pukul 5:30 HKT hingga tengah malam ini segera membawaku menuju stasiun Tung Chung. Padahal tarif sebenarnya hanya HKD 3,50, tapi aku tak punya pecahan lebih kecil dari 5 keping HKD 2, ugh. "Sorry, no change" kata pengemudi yang aku jawab dengan senyum kecut sambil berkata "no problem", hahaha. Ya, aku sudah tahu resikonya, karena dua hari sebelumnya aku sudah mempelajari sekelumit informasi terkait moda transportasi Hong Kong dan Shenzhen, China. Sistem transportasi publik di Hong Kong sudah sedemikian tertata. Anda yang pernah mengunjungi—setidaknya—negara tetangga Singapura, pasti sudah akrab dengan sistem transportasi publik terintegrasi serupa, Mass Rapid Transit (MRT) sebutannya.
Dengan selembar tiket "Single Journey" senilai HKD 20,50, perjalanan dari Tung Chung menuju tempat penginapan di area Causeway Bay kemudian dilanjutkan dengan Mass Transit Railway (MTR). Berdasarkan keterangan dari MTR Journey Planner, perjalanan yang harus ditempuh menggunakan dua buah kereta tersebut akan memakan waktu sekira 42 menit. Kereta pertama akan mengantarkan aku ke stasiun Hong Kong / Central, kemudian diteruskan dengan kereta kedua untuk menuju ke Causeway Bay.
Setibanya di stasiun Causeway Bay, aku bergegas menuju jalan keluar bertanda "D3", yang mengarah ke pusat perbelanjaan SOGO. Oh ow, ternyata di luar hujan lebat. Pertanyaan pertama untuk seorang penjaga di bagian informasi adalah "dimana aku bisa membeli kartu sim gsm?", gadis berambut panjang itu menggeleng. Lalu aku lanjut bertanya, "bagai mana dengan telepon umum? adakah yang terdekat dari sini?" dia menunjuk ke seberang, sambil berkata "kamu bisa menemukannya persis di depan Island Beverley," "terima kasih," aku menjawab singkat dan segera berlari kecil di bawah hujan menuju telepon umum tersebut. Ada dua buah telepon umum di sana, aku melakukan panggilan ke nomor telepon selular salah seorang karyawan apartemen yang malam itu berkenan menjemputku. Janji pun dibuat, karena hujan begitu lebat, aku jelaskan bahwa untuk pindah ke titik pertemuan lain sangat tak memungkinkan. "Aku akan menunggu disini, di depan Island Beverley, terima kasih" ujarku sebelum mengakhiri pembicaraan, dan suara di seberang mengiyakan.
Bila anda bertanya kenapa tak menggunakan telepon selular saja? Jawabannya adalah karena aku masih menggunakan kartu sim gsm bawaan dari Indonesia. Ya, biaya roaming itu terhitung mahal, sementara aku tidak dalam kondisi katakanlah terpaksa—karena darurat atau sebangsanya—dan masih tersedia dua pilihan lain yang lebih hemat. Sekali lagi di mana kepingan koin HKD 2 itu bermanfaat. Waktu sudah menunjukkan pukul 19:36 HKT. Aku menunggu di pelataran, ditemani dinginnya hujan, sambil memandang orang-orang berpayung yang terus bergerak, sembari tetap fokus mendengar setiap panggilan namaku.
Lima belas menit kemudian, aku pun sudah mulai ikut bergerak bersama orang-orang yang lalu-lalang di bawah derasnya hujan. Berpayung, mengikuti si penjemput, sementara mata berkeliaran berusaha mengamati setiap tanda bangunan dari rute awal ini. Hanya sepuluh menit lebih berselang, kami sudah tiba. Meluncur ke lantai empat, dan segera menuju kamar. Oh ya, bersamanya pula aku sempat membeli kartu gsm lokal "Rekanan" dari China Mobile untuk melakukan komunikasi ke tanah air.
Setelah sejumlah informasi-informasi penting dipertukarkan, berikut acara pembayaran serta selingan-selingan lainnya maka genap sudah hari ini. Pukul 20:33 HKT, aku terkurung di dalam kamar sendiri, tak bisa bergerak bebas dengan alasan yang serupa seperti yang disampaikan kru pesawat saat mengantarkan aku: "Cuaca dalam keadaan buruk, Hong Kong sedang diguyur hujan deras." Setelah mandi serta menjamak sholat Maghrib dan Isya, hanya online di messenger dan bertukar canda yang akhirnya sedikit menghibur aku di malam pertama setibanya di Hong Kong. Dua potong roti sobek menjadi cemilan dan makanan penutup. Hingga mata kembali memanggil untuk istirahat, aku pun menurutinya. Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar